Budaya Khas Maluku yang Masih Terjaga

Budaya Khas Maluku yang Masih Terjaga

Maluku merupakan wilayah Indonesia yang berada di wilayah timur. Kekayaan alam dan budaya khas Maluku sudah tidak diragukan lagi sehingga banyak orang yang datang ke tempat ini untuk berwisata.

Catatan sejarah Maluku yang panjang mampu membuatnya memiliki kondisi sosial budaya yang beragam. Adanya pendudukan pemerintahan Portugis dan Belanda di sana ternyata memberikan pengaruh yang besar pada budaya masyarakat Maluku.

Maluku mempunyai banyak budaya dan tradisi yang masih dilestarikan dengan sangat baik hingga sekarang. Masyarakat menanamkan berbagai budaya yang luhur ini dalam kehidupan sehari-hari mereka. Banyak berita Maluku yang memberikan informasi mengenai kondisi budaya di sana.

Dengan budaya yang kaya, apa saja budaya khas masyarakat Maluku yang  sampai sekarang masih dilestarikan?

Budaya Khas Maluku yang Masih Terjaga

Budaya Kalwedo yang Unik

Budaya Khas Maluku yang Masih Terjaga
source: abdulromli.it.student.pens.ac.id

Budaya Kalwedo merupakan salah satu budaya khas Maluku yang berasal dari nama daerah Maluku Barat Daya. Kalwedo memiliki arti berbagi hidup (saudara dan saudari). Dari bahasa hingga kebiasaan sehari-hari, budaya Kalwedo sendiri telah mengakar dalam keseharian masyarakat sekitar hingga sekarang.

Budaya Kalwedo menyatukan semua masyarakat adat dan komunitas MDB dalam persaudaraan yang sakral. Persaudaraan Kalwedo diekspresikan melalui budaya kehidupan “Niolilieta / Hiolilieta / Siolilieta”.

Hidup berdampingan terwakili dengan baik dalam tradisi berbagi dan membantu potensi alam yang ada, sosial, budaya dan ekonomi sumber daya alam Kepulauan Maluku Barat Daya. Budaya Kalwedo disebut “inanara ama yali” dalam kehidupan sehari-hari yang berarti “saudara perempuan dan laki-laki”.

Budaya Hawear di Kepulauan Kei

Budaya Hawear berawal dari sejarah panjang keberadaan antara berbagai generasi di Kepulauan Kei. Konon ada seorang anak perempuan yang diberikan ayahnya sebuah Hawear (kelapa kuning). Hawear yang diberikan ayahnya menyelamatkannya dari gangguan selama perjalanan jauh untuk bertemu raja.

Hawear yang diberikan oleh ayah merupakan lambang kepemilikan perempuan, menandakan bahwa gadis tersebut telah dimiliki oleh seseorang atau menikah. Oleh karena itu, harapan dengan memakai Hawear yang dibawa oleh gadis itu dapat menjauhkannya dari pelecehan orang asing. 

Hingga saat ini, budaya Hawear masih dijalankan sesuai dengan apa yang diyakini masyarakat sekitar Kepulauan Kei benar.

Budaya Makan Patita di Maluku

Budaya Khas Maluku yang Masih Terjaga
source: www.satumaluku.id

Makan patita adalah salah satu budaya yang masih dipertahankan oleh masyarakat Maluku. Makan patita adalah acara makan berskala besar, semua orang bisa menikmati makanan di atas meja atau daun pisang yang tersusun vertikal.

Jamuan patita biasanya diadakan pada hari-hari penting, seperti HUT RI, HUT Pemkot, Pengukuhan Bupati, BJP, dan lain sebagainya. Menu makanan yang disediakan Makan Patita biasanya berasal dari Maluku seperti kippers, kohu-kohu, ubi rebus, gudang, dll.

Makanan ini akan disediakan dalam jumlah banyak agar semua peserta acara bisa mendistribusikannya secara merata. Patita biasanya dimakan di tempat terbuka (seperti sawah, jalan, pantai, dll). Budaya ini sangat mempererat hubungan kekeluargaan dan persaudaraan di Maluku.

Tradisi Pukul Sapu (Manyapu) yang Seru

Budaya Khas Maluku yang Masih Terjaga
source: phinemo.com

Tradisi Pukul Sapu (Manyapu) merupakan tradisi yang digelar setiap tahun oleh masyarakat Mamala dan Morela di Ambon, Maluku. Pukul Manyapu merupakan sebuah budaya ada beberapa pemuda menggunakan sapu atau ijuk untuk saling memukul hingga lukanya terbelit, dan terakhir mengobati lukanya dengan minyak mamala.

Pukul Sapu masih dilakukan secara tradisional. Acara ini diadakan setiap tanggal 7 dalam kalender Islam atau Idul Fitri. Tradisi pukul sapu sebenarnya menggambarkan khasiat dan kegunaan minyak mamala, dan dipercaya sangat efektif dalam mengobati segala jenis luka.

Sejarah budaya ini berawal dari sejarah patahnya kolom masjid, masjid berhasil disatukan lagi dengan menggunakan minyak Mamala pada abad ke-16. Adanya peristiwa ini membuat para leluhur penasaran dengan khasiat minyak Mamala. 

Hingga akhirnya, mereka melakukan percobaan dengan memerintahkan dua pemuda untuk saling memukul dengan tongkat.

Kemudian, nenek moyang mengoleskan minyak mamala pada luka kedua pemuda tersebut. Sehingga luka sembuh tanpa bekas. Acara ini menjadi sumber tradisi tahunan Pukul Manyapu saat ini.

Baca juga: Jenis Jenis Rafting di Bali

Upacara Fangnea Kidabela yang Unik

Upacara Fangnea Kidabela bersumber dari masyarakat Kepulauan Tanimbar atau sekarang dikenal dengan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Upacara Fangnea Kidabela memuat makna penguatan “fangnea” tentang persaudaraan “itawatan”. 

Selain itu juga bisa menjadi penguatan keakraban “kidabela” antar komunitas lain, yang merupakan wujud persatuan dan kesatuan di antara lapisan masyarakat.

Sesuai dengan tujuan dan maknanya, upacara Fanggeniya Kidabella dapat menciptakan suasana komunitas yang kental. Dalam keadaan apapun, persatuan dan kesatuan akan terjaga dengan baik.

Dengan adanya upacara ini mereka berharap dapat mencegah terjadinya konflik dan perselisihan yang dapat berujung pada kehancuran dan depresi. Selama ini Upacara Gonya Kidabella sering diadakan untuk mempererat persaudaraan dan persatuan masyarakat di tenggara Kepulauan Maluku.

Dengan banyaknya budaya khas di Maluku membuat wilayah ini kaya akan budaya dan tradisi yang berguna penuh filosofi.